Berjualan di pasar sedang kurang menguntungkan. Karena itu untuk pertama kalinya, menu Sei, masakan asli Kupang bikinan Ferric dan Lydia, coba dijual dengan cara online. “Kalo masakannya sendiri, udah dijual di pasar, dari tengah tahun 2019. Namun edisi frozen, adalah inovasi saat pandemi, yang baru kita jual bulan Maret tahun ini. Omset di pasar kan mulai menurun. Jadi, aku dan Ferric, suamiku, mulai mikirin, harus ada inovasi nih kita kerjain. Dari situ terlintas, ‘Kenapa ga masakan kita, dibikin frozen?’ Malah sebetulnya ini idenya pelanggan, karena ada kalanya mereka mau bawa buat oleh-oleh ke luar kota. Jadi lah, ada menu frozen dari bulan Maret itu”, kata Lydia. “Semuanya kita coba dulu. Masa simpan berapa lama, kuat ga, karena kita tanpa pengawet. Setelah kita coba, dan rasanya sama seperti saat dine-in (makan di tempat), tidak berubah walau difrozen, baru kita jual”, cerita Lydia. “Untuk pertama kalinya juga, menu inovasi ini kita coba jual di jaringan toko online, sebelumnya ga kepikiran”, serunya. “Sekarang ada GrabFood, pesanan bisa diantar, dan ada toko online juga, yang bisa jual sampai luar kota” tambahnya. Lydia sempat ga memikirkan profit. “Aku mikirnya, kemarin-kemarin udah profit, sekarang penting jalan lah. Setiap bulan bisa membayar 4 karyawan”, serunya. “Nyatanya, bukan cuma bisa bertahan. Dengan online, Se’iasekata bisa #TerusUsaha dan profit.” “Persis Juni tahun lalu kita buka di pasar, ga terasa Sei’asekata udah setahun jualan menu Sei sapi dan ayam. Setahun kemudian, ada menu frozen, dan jualan di online. Kalo pesen frozen, sama, masing-masing ada sambal khas Kupangnya”, lanjut Lydia. “Namanya ini, idenya suami. Sei ini dari Kupang. Tapi kok kayanya ga pingin pakai nama Kupang. Akhirnya dirangkai dari Sei, ‘Gimana kalo Se’iasekata?, kata Ferric. Aku suka! Kan lagi tren juga nama Bahasa Indonesia. Biasanya buat kopi. Ternyata nama juga pengaruh ya. Orang suka, jualan jalan!”, katanya.